S
Padahal sebelumnya, di Tanah Air, keberadaan band indie yang biasa mengusung jenis musik elektro atau digital ini hanya dipandang sebelah mata.
”Dulu, kami kerap dicibir karena bukan dianggap band. Bahkan, pernah hanya dianggap musisi Winamp (peranti lunak pemutar lagu),” kata Angkuy.
Bagi kebanyakan musisi, sekalipun itu yang beraliran elektro, musik yang dikerjakan kedua alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini memang tak lazim. Keduanya menciptakan lagu-lagu berupa instrumen-instrumen musik dari kamar indekos, bukan studio dengan perlengkapan rekaman digital.
Selain itu, tak satu pun alat musik mereka mainkan untuk menghasilkan instrumen-instrumen yang indah. ”Sejatinya, alat bermusik kami hanya satu, yaitu laptop. Kami merangkai nada-nada menjadi lagu lewat Fruity Loop (sejenis peranti lunak). Di dalamnya sudah ada efek-efek alat musik, baik drum, bas, dan lain-lain,” ungkap Angkuy.
Namun, saat tampil di panggung Angkuy dan Nobie kerap memainkan alat-alat musik unik dari jenis
Alat-alat itu biasanya mereka dapatkan dari penjual barang bekas. Ketika pentas di luar negeri, Nobie dan Angkuy selalu menyempatkan diri mampir ke toko mainan atau barang bekas.
”Suara yang dihasilkan alat-alat itu sangat unik. Ini sesuai dengan jenis musik yang kami mainkan lewat Fruity Loop,” ucap Nobie.
Namun, apa yang mereka kerjakan itu sebetulnya merupakan bentuk perlawanan dan kritik terhadap aliran kemapanan pada sebagian musisi digital atau elektro di Tanah Air.
”Menciptakan musik yang asyik tidak perlu harus lewat alat-alat mahal hingga miliaran rupiah. Kita tendang jauh-jauh doktrin bermusik elektro itu harus mahal. Kalau belum-belum bingung biaya, bagaimana kita bisa berkarya?” kata Angkuy.
Di kamar indekos mereka yang sederhana, berukuran 3 x 3 meter, di kawasan Tubagus Ismail, Bandung, mereka menciptakan musik-musik orisinal yang diterima luas di mancanegara. Apa yang mereka kerjakan itu sering disebut
Memanfaatkan situs jejaring sosial seperti Multiply, MySpace, dan Twitter, band yang berdiri tahun 2005 ini punya banyak penggemar, mayoritas berasal dari luar negeri. Tawaran manggung mereka dapatkan antara lain dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Album pertama mereka,
Uniknya, musik dan album yang mereka miliki tak dikomersialkan. Bottlesmoker dikenal sebagai salah satu band yang membagikan musik gratis. ”Seluruhnya gratis,
Mereka juga membebaskan orang mengunduh musiknya. Bahkan, keduanya ikut memopulerkan pola SASE (
Lewat
Ajakan untuk bersahabat dan memberikan pelukan hangat kepada siapa saja, tanpa membedakan status, ras atau suku, dan agama ini tertuang dalam lagu ”Free Hugs” yang bernada riang dan ceria, penuh entakan bersemangat. Namun, lazimnya karya Bottlesmoker lainnya, tak ada lirik di sini. Menurut Angkuy, ini guna memberikan kebebasan kepada pendengar untuk memahami makna lagu.
Berkat keunikan dan visi bermusiknya, Bottlesmoker mendapat banyak penghargaan. Akhir Juni lalu, duo ini meraih penghargaan ICT Indonesia (INAICTA) untuk kategori musik digital. Sebulan sebelumnya, mereka masuk nominasi Indonesia Cutting Edge Music Award (ICEMA) 2010.
Lewat lembaga Common Room yang dipenuhi para insan kreatif di Kota Bandung, Angkuy dan Nobi juga aktif memotori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar